Lebih dari Langganan: Kisah Akrab dengan Tukang Jamu

Posted on

Lebih dari Langganan: Kisah Akrab dengan Tukang Jamu

Aku lama-lama menyukai tempat tinggalku, Meski harga kontraknya naik terus setiapkali kuperpanjang kontraknya. Tempat ku ini sangat strategis di dalam gang hanya ada rumah ku. Meski pengap karena dikelilingi tembok tinggi, tetapi aku suka, karena tak ada orang yang bisa melihat kegiatanku dan aku jadi merasa bebas.

Setelah Mia meninggalkan diriku . aku jadi jomblo. Mau pacaran aku malas dengan basa-basi dan berbagai tuntutan. Untuk melampiaskan lib*do ku, siapa saja yang kusenangi sering kubawa ke kamar yang istimewa ini. Karena alamatnya rumit banyak lika-likunya, tidak satu pun temen cewek ku yang berhasil mencari alamat ku.

Suatu hari saat aku baru membeli rokok di warung aku berpapasan dengan penjual jamu yang cukup mengagetkan. Wajahnya manis dan bodynya bah*nol betul.
“Nggak salah ini orang jadi tukang jamu,” kata ku membatin.

“Mbak jamu” tegurku. Dia menoleh.
“Mau minum jamu mas ?” tanyanya.
“Iya tapi jangan di sini, ke rumah” ajakku dan dia ikut dibelakang ku.

Sesampai di rumah , si mbak melihat sekeliling.
“Wah enak juga tempatnya mas ya,” ujarnya.
“Mbak jamu apa yang bagus”

“Lha mas maunya untuk apa, apa yang mau untuk pegel linu, masuk angin atau jamu kuat”
“Kuat apa” tanya ku.
“Ya kuat segalanya” katanya sambil melirik.

“Genit juga si mbak” kata ku dalam hati. “Aku minta jamu kuat lah mbak, biar kalau malam kuat melek bikin skripsi.”
Tapi terus terang aku kurang mempunyai keberanian untuk menggoda dan mengarahkan pembicaraan ke yang p*rno-p*rno. Sejak saat itu mbak jamu jadi sering menghampiriku.

“Mas kemarin kemana saya kesini kok rumahnya dikunci. Saya ketok sampai pegel nggak ada yang buka.”
“Oh ya kemarin ada kuliah sore jadi saya dari pagi sampai malam di kampus” kataku.
“Mas ini mas jamu kunyit asam, bagus untuk anak muda, biar kulitnya cerah dan jauh dari penyakit.”

“Mbak suaminya mana ?” tanya ku iseng.
“Udah nggak punya suami mas, kalau ada ngapain jualan jamu berat-berat.”
“Anak punya mbak ?”
“Belum ada mas, orang suami saya dulu udah tua, mungkin bibitnya udah abis.”

Kami semakin akrab sehingga hampir setiap hari aku jadi langganannya. Kadang-kadang lagi nggak punya duit, dia tetap membuatkan jamu untuk ku. Dia pun sudah tidak canggung lagi masuk ke rumah ku. Bahkan dia sering numpang ke WC.

Mbak Wati, begitulah dia mengaku namanya setelah beberapa kali mengantar jamu . Dia kini memasuki usia 27 tahun, asalnya dari daerah Wonogiri. Mbak Wati menganggap rumah ku sebagai tempat persinggahan tetapnya. Dia selalu protes keras jika aku tidak ada di rumah.

Semula Mbak Wati mengunjungi ku pada sekitar pukul 13. Tapi kini dia datang selalu sekitar pukul 5 sore. Kalau dia datang ke rumah ku jamunya juga sudah hampir habis. Paling paling sisa segelas untuk ku. Rupanya Mbak Wati menjadikan rumah ku sebagai terminal terakhir. Ia pun kini makin berani.

Dia tidak hanya menggunakan kamar mandiku untuk buang hajat kecil, tetapi kini malah sering mandi. Sampai sejauh ini aku menganggapnya sebagai kakakku saja. Karena dia pun menganggapku sebagai adiknya. Sering kali dia membawa dua bungkus mi instan lalu direbus di rumah ku dan kami sama-sama men*kmatinya.

Sebetulnya pikiran jor*kku sudah menggebu-gebu untuk men*kmati tubuh mbak Wati ini. Namun keberanian ku untuk memulainya belum kutemukan. Mungkin juga karena aku tidak berani kurang ajar jadi Mbak Wati makin percaya pada diri ku. Padahal wooo ng*c*ng. Aku hanya berani mengintip jika Mbak Wati mandi. Lubang yang sudah kusiapkan membuatku makin ng*c*ng saja kalau men*kmati intaian. Tapi bagaimana nih cara mulainya.

“Mas boleh nggak saya nginep di sini ?” tanya Mbak Wati suatu hari.
“Saya mau pulang jauh dan sekarang sudah kesorean, lagi pula besok saya nggak jualan, capek., “katanya beralasan tanpa saya tanya.
“Lha Mbak, tempat tidurnya cuma satu”

“Nggak pa-pa, saya tidur di tiker aja. Mas yang tidur di kasur.”
“Bener nih,” kata ku, dengan perasaan setengah gembira. Karena kupikir inilah kesempatan untuk menyergapnya.
“Iya nggak apa-apa koq” katanya.

Tanpa ada rasa canggung dia pun masuk kamar mandi dan mandi sepuasnya. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali mengintainya. Badannya mulus bah*nol walaupun kulitnya tidak putih, tetapi bentuk tubuhnya sangat sempurna sangat bah*nol sebagai seorang wanita. Sayang dia miskin, kalau kaya mungkin bisa jadi bintang film, pikir ku.

Tet*knya cukup besar, mungkin ukuran 36, pent*lnya kecil dan bulu j*mb*tnya tebal sekali. Mungkin ada hubungannya dengan kumis tipis yang ada di atas bibirnya itu.Selesai mandi, kini giliranku masuk kamar mandi dan membersihkan diri. Aku nggak tahan , sehingga kesempatan mandi juga kugunakan untuk ngl*co.

“Mas mandinya koq lama sekali sih, ngapain aja” tanyanya mengagetkan.
“Ah biasa lah keramas sekalian biar seger” kata ku.
“Itu saya buatkan kopi, jadi keburu dingin deh, abis mandinya lama banget.”

Malam itu kami ngobrol ke sana-kemari dan aku berusaha mengorek informasi sebanyak mungkin mengenai dirinya.
“Mas suka di pijet nggak” katanya tiba-tiba.
“Wah nggak, nggak nolak” kata ku bercanda.
“Sini saya pijetin mas.”

Tanpa menunggu terlalu lama aku segera menuju ke kamar dikuti mbak Wati dan semua baju dan celana ku ku buka tinggal cel*na dal*m. Kumatikan lampu sehingga suasana kamar jadi agak remang-remang. Nggak nyangka sama sekali, ternyata mbak Wati pinter sekali memijat. Dia menggunakan cairan body lotion yang dibawanya untuk melancarkan mengurut.

Aku benar-benar pasrah. Meski ng*c*ng berat, tetapi aku nggak berani kurang ajar. Cilakanya Mbak Wati ini tidak canggung sedikit pun merambah seluruh tubuhku sampai mendekati si dicky. Beberapa kali malah ke senggol sedikit, membuat jadi tambah teg*ng aja.

“Mas celananya dibuka saja ya biar nggak kena cream.”
“Terserahlah mbak” kata ku pasrah . Dengan cekatan dia memelorotkan cel*na dal*m. Sehingga aku kini jadi tel*nj*ng bulat.
“Apa mbak nggak malu melihat saya tel*nj*ng” tanya ku.
“Ah nggak apa-apa, saya dulu sering memijat suami saya.”
“Dia yang ngajari saya mijet.”

Teg*ngan ku makin tinggi karena tangan nya tanpa ragu-ragu menyenggol kem*luan ku. Dia lama sekali memijat bagian dalam pah* ku, tempat yang paling sens*tive dan paling mer*ngs*ng. Mungkin kalau ada kabel di hubungkan diriku dengan lampu, sekarang lampunya bakal menyala, orang teganganku sudah mulai memuncak.

Aku tidur telungkup sambil berfikir, gimana caranya memulai. Akhirnya aku berketetapan tidak mengambil inisiatif. Aku akan mengikuti kemana kemauan Mbak Wati. Kalau terjadi ya terjadilah, kalau nggak yaa lain kali mungkin. Tapi aku ingin men*kmati dominasi perempuan atas laki-laki.

Setelah sekitar satu jam aku tidur telungkup, Mbak Wati memerintahkan aku telentang. Tanpa ragu dan tanpa rasa malu dan bersalah aku segera menelentangkan badan ku. Otomatis si dicky yang dari tadi berontak, kini bebas tegak berdiri.

Celakanya si dicky tidak menjadi perhatian Mbak Wati dia tenang saja memijat dan sedikitpun tidak berkomentar mengenai dicky ku. Kaki kiri, kaki kanan, pah* kiri, pah* kanan, kepala tangan kiri, tangan kanan, lalu perut. Bukan hanya perut tetapi si Dicky pun jadi bagian yang dia pijat. Aku melenguh.

“Aduh mbak”
“Kenapa mas” katanya agak manja.
“Aku nggak tahan, ng*c*ng banget”
“Ah nggak apa-apa tandanya mas normal”
“Udah tengkurep lagi mas istirahat sebentar saya mau ke kamar mandi sebentar.”

Lama sekali dia di kamar mandi, sampai aku akhirnya tertidur dalam keadaan telungkup dan tel*nj*ng. Tiba-tiba aku merasa ada yang menindihku dan kembali kurasakan pijatan di bahu. Dalam keadaan setengah sadar kurasakan ada seusatu yang agak berbeda.

Kenapa punggungku yang didudukinya terasa agak geli Kucermati lama-lama aku sadar yang mengkibatkan rasa geli itu ada bulu-bulu apa mungkin Mbak Wati sekarang tel*nj*ng memijatiku. Ternyata memang benar begitu. Tetapi aku diam saja tidak berkomentar.

Kun*kmati usapan bulu j*mb*t yang lebat itu di punggungku. Kini aku sadar penuh , dan dicky yang dari tadi bangun meski aku sempat tertidur makin teg*ng. Wah kejadian deh sekarang, pikirku dalam hati.
“Balik mas katanya” setelah dia turun dari badan ku

Aku berbalik dan ruangan jadi gelap sekali. Ternyata semua lampu dimatikannya . Aku tidak bisa melihat Mbak Wati ada dimana . Dia kembali memijat kakiku lalu duduk di atas kedua pah*ku . Ia terus naik memijat bagian d*daku dan seiring dengan itu, j*mb*tnya berkali-kali menyapu si dicky.

Kadang-kadang si dicky ditindihnya sampai lama dan dia melakukan gerakan maju mundur. Beberapa saat kemudian aku merasa mbak wati mengambil posisi jongkok dan tangannya memegang batang si dicky. Pelan-pelan di tuntun kepala si dicky memasuki lubang kem*luannya.

Aku pasrah saja dan sangat men*kmati dominasi perempuan. Lubangnya hangat sekali dan pelan-pelan seluruh tubuh si dicky masuk ke dalam lubang v*gina mbak waty. Mbak Wati lalu merebahkan dirinya memeluk diriku dan pant*tnya naik turun, sehingga si dicky keluar masuk .

Kadang-kadang saking h*tnya si dicky sering lepas, lalu dituntunnya lagi masuk ke lubang yang diinginkan. Karena aku tadi sudah ngl*co dan posisiku di bawah, aku bisa menahan agar m*ni ku tidak cepat muncrat. Gerakan mbak Wati makin l*ar dan nafasnya semakin memburu.

Tiba-tiba dia menjerit tertahan dan menekan sekuat-kuatnya kemala*annya ke si dicky. Dia berhenti bergerak dan kurasakan lubang v*ginanya berdenyut-denyut. Mbak wati mencapai org*smenya yang pertama. Dia beristirahat dengan merebahkan seluruh tubuhnya ke tubuhku. Jantungnya terasa berdetak cepat.

Aku mengambil alih dan membalikkan posisi tanpa melepas si dicky dari lubang mem*k mabak wati. Ku atur posisi yang lega dan mencari posisi yang paling enak dirasakan oleh mem*k mbak Wati. Aku pernah membaca soal G-sp*t. Titik itulah yang kucari dengan memperhatikan reaksi mbak wati.

Akhirnya kutemukan titik itu dan serangan terus ku kosentasikan kepada titik itu sambil memaju dan memundurkan si dicky . Mbak wati mulai melenguh-lenguh dan tak berapa lama dia berteriak, dia mencapai kl*maks tertinggi sementara itu aku juga sampai pada titik tertinggi ku.

Dalam keadaan demikian yang terpikir hanya bagaimana mencapai kepuasan yang sempurna. Kubenamkan si dicky sedalam mungkin dan bertahan pada posisi itu sekitar 5 menit. K*nt*lku berdenyut-denyut dan v*ginanya mbak wati juga berdenyut lama sekali.

“Mas terima kasih ya, saya belum pernah main sampai seenak ini.”
“Saya ngantuk sekali mas.”
“Ya sudah lah tidur dulu.”

Aku bangkit dari tempat tidur dan masuk kamar mandi membersihkan si dicky dari m*ni yang belepotan. Aku pun tidak lama tertidur. Paginya sekitar pukul 5 aku bangun dan ternyata mbak wati tidur di samping ku.Kur*ba mem*knya, lalu ku c*um, tangan ku, bau sabun. Berarti dia tadi sempat bangun dan membersihkan diri lalu tidur lagi. Dia kini tidur nyenyak dengan ngorok pelan.

Kuhidupkan lampu depan sehingga kamar menjadi agak remang-remang. Kubuka atau kuk*ngk*ngkan kedua kakinya . Aku tiarap di antara kedua pah*nya dan kusibakkan j*mb*t yang lebat itu untuk memberi ruang agar mulutku bisa mencapai mem*knya.

Lidahku mencari posisi cl*tor*s mbak wati. Perlahan-lahan kutemukan titik itu aku tidak segera menyerang ujung cl*tor*s, karena kalau mbak wati belum ter*ngs*ng dia akan merasa ngilu. Daerah sekitar cl*tor*s aku j*lat dan lama-lama mulai mengeras dan makin menonjol.

“Mas kamu ngapain mas, jijik mas udah, mas” tangannya mendorong kepala ku, tetapi kutahu tenaganya tidak sunguh-sungguh karena dia juga mulai mengel*njang. Tangannya kini tidak lagi mendorong kepalaku, mulutnya berd*sis-d*sis dan diselingin teriakan kecil manakala sesekali kusentuh ujung cl*tor*snya dengan lid*hku.

Setelah kurasakan cl*tor*snya menonjol penuh dan mengeras serangan ujung lidahku beralih ke ujung cl*tor*s. Pinggul mbak wati yang bah*nol mengeliat seirama dengan gerakan lid*hku. Tangannya kini bukan berusaha menjauhkan kepalaku dari v*ginanya tetapi malah menekan, sampai aku sulit bernafas.

Tiba-tiba dia menjepitkan kedua pah*nya ke kepalaku dan menekan sekeras-kerasnya tangannya ke kepalaku untuk semakin membenam. V*gin*nya berdenyut-denyut. Dia mencapai kl*mak. Beberapa saaat kupertahankan lidah ku menekan cl*tor*snya tanpa menggerak-gerakkannya.

Setelah gerakannya berhenti aku duduk di antara kedua pah*nya dan kumasukkan jari tengah ke dalam mem*knya kucari posisi G-sp*t, dan setelah ter*ba ku*lus pelan. Dengan irama yang tetap. Mbak Wati kembali menggerakkan pinggulnya yang bah*nol dan tidak lama kemudian dia menjerit dan menahan gerakan tanganku di dalam mem*knya. Lubang v*ginanya berdenyut lama sekali.

“Aduh mas ternyata mas pinter sekali.”
“Aku kira mas nggak suka perempuan. Aku sampai penasaran mancing-mancing mas, tapi kok nggak nyerang-nyerang aku.”
“Jadi aku bikin alasan macem-macem supaya bisa berdua sama mas.”

“Aku segen mbak, takut dikira kurang ajar. Selain itu aku juga ingin men*kmati jika didului perempuan.”
“Ah mas nakal, menyiksa aku. Tapi aku suka mas orangnya sopan nggak kurang ajar kayak laki-laki lain.”
“Mas tadi kok nggak jijik sih jil*ti mem*k ku. Aku belum pernah lho digituin. Rasanya enak juga ya.”kata Mbak Wati.

Wati mengaku ketika berhubungan dengan suaminya yang sudah tua dulu hanya hubungan yang biasa saja dan itu pun mbak wati jarang sampai puas. Dia mengaku belum pernah berhubungan badan dengan orang lain kecuali suaminya dan diriku.

“Pantes mem*knya enak sekali, peret mbak,” kata ku.
“Wong tukang jamu koq, yo terawat toh yo.”
“Sekarang gantian mbak, barang ku mbok jil*ti po’o. ”
Aku ra iso he mas”
“Nanti tak ajari.”

Mbak Wati yang bah*nol mengambil posisi diantara kedua pah*ku dan mulai memegang si dicky dan pelan-pelan memasukkan mulutnya ke ujung ******. Dia berkali-kali merasa mau muntah, tetapi terus berusaha meng*m*t si dicky Setelah terbiasa akhirnya dik*l*mnya seluruh b*tang ****** ku sampai hampir mencapai pangkalnya. Aku merasa ujung si dicky menyentuh ujung tenggorokkannya.

Dia memaju-mundurkan b*tang di dalam k*l*mannya . Ku instruksikan untuk juga melakukannya sambil mengh*sap kuat-kuat.dia menuruti semua perintahku. Bagian zak*rnya juga dij*latnya seperti yang kuminta. Dia tidak lagi mau muntah tetapi mahir sekali. Setelah berlangsung sekitar 15 menit kini aku perintahkan dia tidur telentang dan aku segera menindihnya.

“Mas k*nt*le kok enak tenan, keras sampai mem*k ku rasanya penuh sekali.”
Kugenjor terus sambil kosentrasi mencari titik G. Tidak sampai 5 menit Mbak wati langsung berteriak keras sekali. Dia mencapai org*sme tertinggi. Sementara aku masih agak jauh . Setelah memberi kesempatan jeda sejenak. Mbak Wati kusuruh tidur nungg*ng dan kami melakukan dengan D*gy St*le.

Rupanya pada posisi ini titik G Mbak wati tergerus hebat sehingga kurang dari 3 menit dia berteriak lagi dan aku pun mencapai titik tertinggi sehingga mengabaikan teriakannya dan kug*njot terus sampai seluruh man*ku hambis di dalam mem*k mbak wati.

Dia tertidur lemas,aku pun demikian. Sekitar jam 8 pagi kami terbangun dan bersepakat mandi bareng. Badan Mbak wati memang benar-benar sempurna sangat bah*nol, Tet*knya besar menentang, pingg*lnya besar dan pinggangnya ramping sungguh bah*nol. Setelah malam itu mbak Wati jadi sering menginap di kamar ku. Sampai satu hari dia datang dengan muka sedih.

“Mas aku disuruh pulang ke kampung mau dikawinkan sama Pak lurah.”
“Aku berat sekali mas pisah sama mas, tapi aku nggak bisa nolak keinginan orang tua ku,” katanya bersedih.
Malam itu Mbak wati nginap kembali di kamar ku dan kami main habis-habisan. Seingat saya malam itu saya sampai main 7 ronde men*kmati tubuh bah*nol nya, sehingga badan ku lemas sekali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *